“Selepas tujuh putaran Siti Hajar turun dari Bukit Marwah, Ia mendengar suara aneh dari arah Baitullah, didekatinya. Ternyata, suara itu merupakan malaikat yang sedang mengepakkan sayapnya sehingga keluar mata air yang sangat jernih. Melihat air memancar sangat deras, Siti Hajar pun mendekatinya dan membuat gundukan di sekitar air tersebut agar idak mengalir ke mana-mana.”
Setelah Siti Hajar berlari kecil dari bukit Shafa menuju Marwa demi sebuah air, zam zam adalah jawaban Allah atas keikhlasan Ibrahim yang dijawab lewat perjuangan sang Ibu demi anaknya, Siti Hajar dan Ismail. Sebuah mata air yang sangat berperan penting dalam sejarah peradaban Islam.
“Ritual Sa’i, berlarian kecil antara Safa dan Marwa saat ibadah Haji, bermula dari kisah Siti Hajar tersebut.”
Allah membalas doa Ibrahim yang sangat berat meninggalkan Siti Hajar dan Ismail sang anak di tengah gurun tandus yang panas. Demi perintah-Nya, pengorbanannya dijabah Allah dengan diutusnya malaikat untuk istri dan anaknya.
Zam-zam yang Mengering
Selepas peninggalan Ismail, mata air zam-zam
Salah satu kabilah dari Yaman yang dikenal dengan nama Jurhum datang dan tinggal di Makkah. Mereka senang tinggal di Makkah karena terdapat air zam-zam yang jernih dan segar yang sepanjang hidup mereka belum pernah menemukan air seperti ini. Sumur zam-zam telah menjadi sumber penghidupan bagi mereka.
Namun keadaan itu membuat mereka lupa, bahkan berlaku zalim terhadap orang yang mengunjunginya. Mereka berani memakan harta yang mereka hadiahkan untuk Baitullah dan merampas harta benda orang lain yang hidupdi sekitarnya. Padahal, pada waktu itu tidak diperkenankan melakukan segala bentuk kedzaliman di dalamnya.
Seiring dengan perilaku dan sikap Kabilah Jurhum yang semakin brutal, sedikit demi sedikit sumber air sumur zamzam semakin mengecil. Sampai sumber air zamzam tertutup sama sekali. Ini merupakan suatu balasan atas kebrutalan mereka.
Semua perilaku Jurhum menyebabkan petaka bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga suatu ketika terjadi peperangan antara Jurhum dan Bani Khuza’ah yang berakhir dengan terusirnya Kabilah Jurhum dari Baitullah. Seiring dengan berjalannya waktu, sumur zam-zam semakin tertutup dan tak terlihat.
Penggalian oleh Abdul Muthalib dan Diyat Pertama Kalinya
Penggalian kembali Zam Zam dilakukan oleh sang Kakek Rasulullah di tahun Gajah, sebelum kelahiran sang cucunya kelak. Dihampiri berbagai pesan lewat mimpi, dengan petunjuk di berbagai tempat..
Zam zam ternyata menjadi sangat kering pada titik sumbernya, banyaknya korban dari para pencari – penggali Zam zam, membuat dirinya pasrah dan hanya bisa bertawakal kepada-Nya, hingga ia bernazar demi kaumnya agar tak kesusahan mendapati sumber kehidupan mata air Zam zam.
“Seandainya penggalian ini berhasil dan mendapatkan kembali sumber mata air Zam zam, maka jika aku dikaruniai sepuluh anak lelaki, aku akan rela mengorbankannya kelak.” Ucap Abdul Muthalib.
Akhirnya Allah memberikannya sepuluh anak lelaki dari enam wanita yang dinikahinya, setelah melewati proses pengundian panjang, jatuhlah pada Abdullah dimana ia akan menepati nazarnya dulu saat berusaha mencari sumber Air Zam zam.
“Orang Quraisy tetap tidak setuju dengan cara mengorbankan saah satu putra beliau. Mereka takut kelak ini akan menjadi kebiasaan orang Arab dan orang Mekkah.”
Yang dijabah oleh Allah, dengan cara mengganti nazar tersebut dengan menyembelih seratus unta, istilah ini dikenal dengan diyat, atau denda.
Inilah denda yang pertama kali terjadi di tanah haram, yang kemudian ditetapkan ke dalam Syariat Islam.